Menjalankan sebuah keluarga dengan penuh cita rasa dan penuh cinta bukanlah hal yang mudah. Sejak aku memulai bahtera hidup baru dengan pasanganku di pelaminan aku sudah yakin jika seseorang melakukan suatu keputusan pasti harus ada konsekuensi yang harus di ambil. Semua cobaan, ujian, dan segala hal yang dirasa pahit itu adalah bukti nyata bahwa kita harus menerima sebuah konsekuensi dalam berumah tangga. Jika kita menyerah dengan ujian Alloh SWT, lantas bagaimana kita akan mendapatkan rasa syukur dari sebuah ujian itu? Bukankah Allah SWT akan melihat perjuangan kita dalam menyelesaikan ujian-Nya? Disitulah perlunya konsekuansi nyata atas kekonsistenan hidup yang harus aku jaga saat memulai rumah tangga baruku.
Ketika ber-ijab qabul dengn wali nikah, bukankah itu awal dari perjuangan seorang lelaki menjadi imam sebuah keluarga? Beban yang menjadi tanggung jawab harus dijalankan, dan itu pastilah tidak mudah. Tapi jika seorang imam memiliki keimanan dan ketaqwaan yang mantap serta memasrahkan segalanya pada sang pencipta maka segalanya akan menjadi mudah. “lelaki akan dipertanggung jawabkan atas apa yang di ucapkannya” teringat akan kalimat itu benarlah kata-kata seorang lelaki itu akan membawa dampak bagi dirinya dan kehidupannya, hingga suatu ketika aku ber-ijab qabul menikahi istriku dengan janji akan mencintai dan menyayangi sepenuh hati, akan membimbing dan menafkahinya lahir bathin, dari kata-kata itulah lahir sebuah tanggung jawab atas sebuah keputusan yang sudah diraih yaitu membentuk keluarga sederhana yang sakinah, mawaddah, warahmah.
Setelah genap 2 tahun setelah pernikahanku dengan istriku tercinta, aku mendapatkan anugerah Allah SWT, yaitu dengan kelahiran anakku yang aku beri nama Taufiq Al-Barzanji. Gemerlap kembang api di malam tahun baru masa itu masih terbayang dalam ingatanku. Tangis haru dan senyum bahagiaku mengiringi kelahiran anakku tercinta, saat itu aku tak henti-hentinya bersujud pada Allah atas karunia yang maha indah itu. Adzan pertama aku kumandangakan di dekat telinganya seraya aku ucapkan dua kali masyahadat, aku islamkan Taufiq dengan penuh keyakian agar kelak ia bisa meyakinkan orang muslim lainnya.
Di umur Taufiq yang masih 1 tahun aku perdengarkan ia dengan puji-pujian dan ayat suci al-quran agar kelak beliau dapat mengamalkannya lagi. Jika ada orang yang berkata pendidikan pertama adalah keluarga, maka itu adalah benar karena aku dan istriku akan mendidiknya sejak ia lahir sampai suatu saat nanti kami meninggal. orang tua adalah jendela ilmu pertama terhadap anaknya, maka orang tualah yang seharusnya selalu mendengarkan tangisan dan tawa anaknya, setiap aku bersama Taufiq bukan hanya aku ajarkan cara ia bicara, tapi aku mengajarkan bagaimana ia beretika dalam berbicara. Bukan hanya aku ajarkan ia berjalan dan makan, tapi aku ajarkan ia etika berjalan dan makan, bukan hanya aku ajarkan untuk hidup, tapi aku juga mengajarkan bagaimana ia beretika dalam kehidupan ini. Semua ini aku lakukan agar tindakan yang dilakukannya menjadi ibadah karena ketika manusia diciptakan oleh Allah SWT ke dunia ini tidak lain hanya untuk beribadah kepada-Nya.
Di suatu waktu saat ia berumur sekitar 5 tahun, aku ajak Taufiq melihat sebuah pohon rambutan di samping rumah, aku tunjukan padanya semut-semut yang sedang berbondong-bondong menyusuri ranting pohon rambutan tersebut, lantas aku bertanya pada anakku. “Taufiq, apa yang kau lihat dari semut-semut itu?”.
Anakku menjawab “semut itu berjalan bersama, dan saling berpapasan ketika bertemu dengan temannya”.
“ada lagi?” tanyaku.
“tidak ada yang mendahului, dan mereka saling tolong menolong dan bergotong royong yah”.
“benar anakku, tidakkah engkau melihat ciptaan Allah yang maha Esa itu? Mereka hidup bersama, berdampingan satu sama lain dan saling mengenal. Tahukah apa artinya itu?”.
“tidak tahu ayah, bisa jelaskan padaku?”.
“alangkah baiknya jika hidup kita dilandasi dengan rasa cinta kasih tergadap sesama, tidak memandang suku dan ras, siapapun orang itu maka kita harus menghormati dan menyayanginya sekalipun itu pada musuh nak. Jangan pernah membeda-bedakan dan berbaurlah pada semua orang, bantulah orang yang membutuhkan pertolongan dan bergotong royonglah, satu jalan menuju satu tujuan hidup yaitu menggapai ridha ilahi, itulah intinya nak”.
“oh, jadi kita tidak boleh membedakan orang lain ya ayah? Tapi bagaimana dengan orang yang jahat pada kita?”.
“semua orang mempunyai kedudukan yang sama di mata Allah nak, yang membedakan hanyalah ketaqwaannya saja. Jika kau berada di lingkungan yang baik, maka buatlah lingkungan itu menjadi lebih baik, dan buatlah orang yang berada di lingkungan itu menjadi lebih baik darimu, lakukan semuanya dengan rasa ikhlas dan ridha. Dan jika engaku berada di lingkungan orang-orang jahat, maka perbaikilah mereka, jangan pernah menyerah dan putus asa, bersabarlah karena Allah selalu bersama orang yang sabar dan berada di jalan-Nya. Buatlah mereka mengerti bahwa kehidupan di dunia ini hanyalah jalan menuju kehidupan yang abadi di akhirat nanti. Barang siapa yang menanam amal baik maka surgalah tempat ia kembali, dan barang siapa menanam amal buruk maka nerakalah tempat untuk ia kembali. Semoga engkau, keluarga kita dan semua ummat muslim berada pada jalan yang benar dan penuh kesabaran”.
“oh begitu ya ayah, sekarang aku mengerti, jadi kita sebagai sang makhluk harus dapat menebarkan kebaikan kepada semua orang meskipun itu kepada orang yang jahat”.
“betul sekali anakku, dan ingatlah selalu, rahmat Allah selalu berada pada orang yang beriman, satu hal pula yang harus kau ingat tersenyumlah! Karena dengan tersenyum engkau akan merasa tenang menjalankan segalanya, senyum itu mencerminkan ketenangan, kebahagiaan, keikhlasan, ketulusan, dan ketegaran. Bagaiamanapun keadaanmu tersenyumlah! La Tahzan, jangan bersedih dalam kehidupan ini, karena kesedihan akan membuat jiwa kita rapuh, karena senyum adalah ibadah”.
“berarti semua yang kita lakukan itu harus di awali dengan senyuman yah?”.
“begitulah nak, karena sewaktu engaku masih bayi pun engkau telah belajar tersenyum, engkau telah beribadah, dan itulah ibadah yang pertama kau lakukan pada kehidupan ini, ibadah yang pertama kau berikan pada penciptamu”.
“oh begitu yah, jadi sejak manusia lahir ke dunia ini tanpa di sadari mereka sudah beribadah ya! Sekarang aku mengerti yah, terimakasih atas pelajaran yang kau berikan hari ini”.
“ya sama-sama anakku”.
Kumandang adzan maghrib di sore itu mengakhiri perbincanganku dengan Taufiq, semoga pelajaran di hari itu dapat memberikan hikmah, pertunjuk, serta ilmu bagi kehidupannya kelak.
Amin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar