Kini tiba
saatnya orang-orang islam untuk menyambut satu kebahagiaan besar lagi setelah
beberapa bulan lalu melewati gema takbir idul fitri, ya ini adalah waktunya
berhaji beberapa orang sudah mendaftar dari bulan lalu bahkan ada pula yang sudah
bertahun-tahun daftar untuk berhaji. Segala sesuatu sudah dipersiapkan bagi
mereka yang sudah dapat akses berangkat menuju rumah Allah itu, ada juga
beberapa orang yang sudah beberapa tahun menunggu keberangkatannya tapi belum
dapat akses juga, entah bagaimana cara memilih orang-orang yang pergi haji itu
di Negara kami tercinta ini. Beberapa hari ini pula sudah banyak berita di
televise dan Koran tentang kisah-kisah haji malah semakin bermunculan
acara-acara yang bertemakan haji, entahlah aku bingung dengan cara pandang
mereka bagaimana, keinginan untuk berbagi ilmu atau hanya sekedar mencari
profit semata.
Aku masih
teringat di setiap sujud ema beberapa tahun yang lalu sebelum ia wafat di usia
yang sudah renta, setiap selesai shalat ia selalu mengakhiri dzikirnya dengan
membaca “labbaikkallah humma labbaik, labbaikkala sariikala kalabbaik, ya allah
ijinkan hamba ini mencium harumnya rumahmu kelak” ya kalimat itu yang selalu
membatku merinding ketika mendengarnya, impian ema yang suci itu selalu menjadi
bulan-bulanan dalam pikiranku, sementara aku masih berusia 12 tahun tanpa
mengenyam pendidikan sama sekali karena melihat kondisi kelaurga kami yang
tidak memungkinkan aku untuk mengenyam pendidikan, aku hanya dapat belajar membaca dari lembaran
Koran yang aku jual di setiap pagi dan sore di lampu merah, aku hanya belajar
dari setiap langkah yang aku tempuh bahwa aku kelak akan berhasil jika aku
optimis.
Ema, sosok
yang membuatku bangga akan hadirnya. Ia tak pernah mengeluh meski keadaan kami
terpuruk. Tinggal di perkampungan kumuh yang jauh dari kota tidak membuat ia
kikuk mengayuh kehidupan. Setiap pagi setelah sembahyang subuh ia cepat
bergegas ke sawah bekerja dari pagi hingga petang, tak peduli usia yang sudah
tua ia tetap semangat menjalani hidup, memang terkadang aku melihat raut wajah
ema jika sedang melamun, rautnya mengandung kesedihan sejak ditinggalkan oleh
abah beberapa tahun yang lalu karena kecelakaan sewaktu pulang dari kota, aku
terkadang selalu bosan melihat keadaan kami yang seperti ini, tak ada bantuan
pemerintah untuk kami meskipun ada aku yakin ema tak akan mau menerimanya
karena ia tak pernah mau hidup dari jerih payah orang lain, karena itulah
satu-satunya alasan mengapa aku bersemangat! Ema! Ya aku melakukan semua ini
karena ema, Cuma ema yang aku miliki.
Dengan
penghasilan 20 ribu rupiah perhari ema menabung, berharap suatu saat ia dapat
pergi haji menuju rumah yang di impikan semua muslim, diam-diam aku menyimpan
sebagian hasil penjualan koranku untuk membantu ema, aku sedih melihat ema, aku
kasihan padanya dengan penghasilan seminim itu ia harus dapat membagi rata
untuk kehidupan kami sehari-hari. Aku masih melihat sajadah ema yang penuh
dengan tambalan yang selalu menjadi alas untuk dia bersujud, aku masih melihat
mukena ema yang sudah kusam dan beberapa bagiannya yang sobek, aku masih
melihat cahaya lampu 5 watt sebagai penerang shalat ema dan penerang rumah
kami, ah aku sudah tak sanggup untuk merasakan kesedihan yang ditanggung oleh
ema.
Di setiap
malam tiba aku selalu di ajak berbincang oleh ema, ia hanya bercerita tentang
indahnya haji, indahnya pergi ke rumah Allah, hampir setiap malam ema selalu
membicarakan hal yang sama padaku, sebelum tidur ema selalu berdoa yang mngucap
kalimat mantra yang selalu ia sebutkan juga pada akhir shalatnya “labbaikkallah
humma labbaik, labbaikkala sariikala kalabbaik, ya allah ijinkan hamba ini
mencium harumnya rumahmu kelak” bukan hanya sebelum tidur, setiap ema akan
melakukan semua aktivitasnya ema selalu membaca kalimat itu bangun tidur, pergi
ke sawah, akan tidur, memasak, dan segala kegiatan ema selalu di selingi kalimat doa itu.
Terpikir dalam
benakku, aku harus mewujudkan impian ema, aku mau ema pergi haji! aku akan
menabungkan semua penghasilanku untuk ema, aku ingin tahun depan ema bisa pergi
haji meski aku yakin uangku takkan cukup membantu ema karena penghasilanku
sebagai loper Koran hanya 10 ribu perhari. Mungkin butuh waktu bertahun-tahun
lamanya untuk mengumpulkan uangku agar ema bisa pergi haji. mulai saat itu aku
tak pernah jajan, aku tak pernah membelikan keperluanku untuk hidupku, aku tak
memikirkan hidupku lagi karena buatku ema adalah segalanya.
Ini musim
haji, banyak Koran yang menyediakan berita haji, aku ingin membuatkan ema
kumpulan gambar ka’bah dan suasana haji dari Koran-koranku, aku ingin
menggembirakan ema, aku susun gambar demi gambar untuk ema, aku buatkan bingkai
untuk ema, dan akan aku simpan di depan sajadah ema agar ema merasa dekat
dengan ka’bah, agar ema tak selalu bersedih dan mengeluarkan air mata ketika
berujud. aku ingin memberikan kejutan pada ema, aku pulang dengan semangat aku
berlari membawa tumpukan Koran yang sudah aku bingkaikan di tempatku bekerja,
aku lari secepat mungkin sebelum ema dating terlebih dulu, tapi aku salah, aku
terlalu terburu-buru di persimpangan jalan aku sontak kaget ketika sebuah truk
pasir menabrakku dengan cepat! Seketika aku terjatuh, aku tak sadarkan diri
semua orang mengerumuniku, tiba-tiba ema datang dengan tangisan penuh pilu,
“kamu kenapa nak! Apa yang kamu lakukan pada anakku!” ema marah pada supir truk
tapi aku masih tersadar dan menggenggam erat tangan ema “ema, sudahlah, bukan
dia yang bersalah tapi aku! Maaf ma aku hanya ingin membahagiakan ema, aku
buatkan bingkai ini untuk ema” aku berikan bingkai bergambar haji yang sudah
patah berantakan karena terlempar truk. “ema, aku sudah kumpulkan uangku untuk
ema berhaji, ambil saja di bawah tumpukan bajuku, maaf ma aku begini karena aku
sayang ema! Aku tak ingin ema terus bersedih karena ingin berhaji”
“nak, kau
terlalu berlebihan! Meskipun ema tak dapt berhaji tapi ema selalu bahagia
karena mungkin hati ema sudah ada disana”
Aku mulai
merasakan sakit yang sangat di bagian dadaku, tak terasa aku hilang, mataku
mulai rabun tak dapat melihat apa-apa, aku melihat sosok berbaju putih menghampiriku
dan seketika aku meninggalkan dunia ini.
Aku yakin,
dengan sajadah bolongnya, dengan kusam mukenanya, ema bisa berhaji suatu saat
nanti.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar