PERNAKAH terbersit tanya dalam hati atau pikiran, dari mana asal muasal diadakannya pencatatan dalam transaksi Jual Beli? Atau dalam dunia modern di sebut dengan kata ‘akuntansi’. Jangankan orang biasa yang tak mengerti tentang akuntansi, bahkan mungkin mahasiswa yang mengambil jurusan akuntansi pun belum tentu mencari tahu tentang hal itu.
Dalam catatan sejarah, pencatatan tertua itu berasal dari Babilonia pada 3600 tahun Sebelum Masehi, itupun hanya berupa pencatatan bayaran gaji. Penemuan pencatatan yang lainnya yaitu di Mesir dan Yunani kuno. Yang jika dibandingkan dengan sistem pencatatan sekarang, pencatatan pada zaman dahulu itu belum sistematis dan terkadang tidak lengkap.
Namun, akuntansi atau pencatatan suatu usaha itu selalu berkembang dari waktu ke waktu. Perkembangannya itu bersamaan dengan dikembangkannya system pembukuan ganda (double entry system) oleh pedagang-pedagang di Venesa.
Luca Pacioli. Dialah yang di sebut sebagai Bapak Akuntansi. Dia yang pertama kali memperkenalkan tentang system pembukuan ganda tersebut pada tahun 1494. Dia yang menerbitkan buku berjudul‘Summa de Arithmatica, Geometria, Proportioni et Proportionalita.’ Bagian buku tersebut yang membahas tentang pembukuan ada 37 bab, dengan judul ‘Tractatus de Computis et Scriptorio.’
Padahal nih, dalam agama Islam kata akuntansi itu sudah menjadi kata yang sudah tidak asing lagi. Bahkan mungkin bukan menjadi suatu lmu yang baru. Mengapa? Karena dalam peradaban Islam, sudah dikenal Baitul Mal yaitu lembaga keuangan yang berfungsi sebagai Bendahara Negara. Baitul Mal itulah yang menjamin kesejahteraan sosial masyarakat.
Bahkan masyarakat muslim itu sudah mempunyai akuntansi yang di sebut Kitabat al Amwal. Kitab yang merupakan sebuah mahakarya tentang ekonomi yang dibuat oleh Abu Ubaid – seorang ahli ekonomi Islam – yang menekankan beberapa issu mengenai perpajakan, hukum, serta hukum administrasi dan hukum international.
Konsep akuntansi yang harus diikuti oleh setiap pelaku bisnispun sebenarnya telah di gariskan dalam Kitab Suci Al-Qur’an. Hal ini dijelaskan dalam Q.S. Al-baqarah ayat 282, yaitu :
يَآأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِذَا تَدَايَنتُمْ بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُّسَمًّى فَاكْتُبُوهُ وَلْيَكْتُب بَّيْنَكُمْ كَاتِبٌ بِالْعَدْلِ وَلاَ يَأْبَ كَاتِبٌ أَن يَكْتُبَ كَمَا عَلَّمَهُ اللهُ فَلْيَكْتُبْ وَلْيُمْلِلِ الَّذِي عَلَيْهِ الْحَقُّ وَلْيَتَّقِ اللهَ رَبَّهُ وَلاَ يَبْخَسْ مِنْهُ شَيْئًا فَإِن كَانَ الَّذِي عَلَيْهِ الْحَقُّ سَفِيهًا أَوْ ضَعِيفًا أَوْلاَ يَسْتَطِيعُ أَن يُمِلَّ هُوَ فَلْيُمْلِلْ وَلِيُّهُ بِالْعَدْلِ وَاسْتَشْهِدُوا شَهِيدَيْنِ مِن رِّجَالِكُمْ فَإِنْ لَمْ يَكُونَا رَجُلَيْنِ فَرَجُلُُ وَامْرَأَتَانِ مِمَّن تَرْضَوْنَ مِنَ الشُّهَدَاءِ أَنْ تَضِلَّ إِحْدَاهُمَا فَتُذَكِّرَ إِحْدَاهُمَا اْلأُخْرَى وَلاَ يَأْبَ الشُّهَدَآءُ إِذَا مَادُعُوا وَلاَ تَسْئَمُوا أَنْ تَكْتُبُوهُ صَغِيرًا أَوْ كَبِيرًا إِلَى أَجَلِهِ ذَلِكُمْ أَقْسَطُ عِندَ اللهِ وَأَقْوَمُ لِلشَّهَادَةِ وَأَدْنَى أَلاَّ تَرْتَابُوا إِلاَّ أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً حَاضِرَةً تُدِيرُونَهَا بَيْنَكُمْ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَلاَّ تَكْتُبُوهَا وَأَشْهِدُوا إِذَا تَبَايَعْتُمْ وَلاَ يُضَآرَّ كَاتِبُُ وَلاَ شَهِيدُُ وَإِن تَفْعَلُوا فَإِنَّهُ فُسُوقُُ بِكُمْ وَاتَّقُوا اللهَ وَيُعَلِّمُكُمُ اللهُ وَاللهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمُُ
Artinya : "Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menulisnya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menulisnya dengan adil. Dan janganlah penulis enggan menulisnya sebagaimana Allah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. Jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). Jika bukan dua oang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka yang seorang lagi mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar, sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih dapat menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguan kamu. Tetapi jika ia merupakan perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tidak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi memudharatkan yang bermuamalah (dan jangan juga yang bermuamalah memudharatkan para saksi dan penulis). Jika kamu lakukan (yang demikian), maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada diri kamu. Dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu.”
Inilah ayat terpanjang dalam al-Quran, dan yang dikenal oleh para ulama dengan nama ayat al-mudayanah (ayat utang piutang). Ayat ini antara lain berbicara tentang anjuran atau menurut sebagian ulama kewajiban menulis utang piutang dan mempersaksikannya dihadapan pihak ketiga yang dipercaya (notaris), sambil menekankan perlunya menulis utang walau sedikit, disertai dengan jumlah dan ketetapan waktunya.
Ayat ini ditempatkan setelah uraian tentang anjuran bersedekah dan berinfaq (ayat 271-274), kemudian disusul dengan larangan melakukan riba (ayat 275-279), serta anjuran memberi tangguh kepada yang tidak mampu atau bahkan menyedekahkan sebagian atau semua hutang itu (ayat 280). Penempatan uraian tentang anjuran atau kewajiban menulis hutang piutang setelah anjuran dan larangan di atas, mengandung makna tersendiri. Anjuran bersedekah dan melakukan infaq di jalan Allah, merupakan pengejawantahan rasa kasih sayang yang murni; selanjutnya larangan riba merupakan pengejawantahan kekejaman dan kekerasan hati, maka dengan perintah menulis hutang piutang yang mengakibatkan terpeliharanya harta, tercermin keadilan yang mengakibatkan terpeliharanya harta, tercermin keadilan yang didambakan al-Quran, sehingga lahir jalan tengah antara rahmat murni yang diperankan oleh sedekah dengan kekejaman yang diperagakan oleh pelaku riba.
Larangan mengambil keuntungan melalui riba dan perintah bersedekah, dapat menimbulkan kesan bahwa al-Quran tidak bersimpati terhadap orang yang memiliki harta atau mengumpulkannya. Kesan keliru itu dihapus melalui ayat ini, yang intinya memerintahkan memelihara harta dengan menulis hutang piutang walau sedikit, serta mempersaksikannya. Seandainya kesan itu benar, tentulah tidak akan ada tuntutan yang sedemikian rinci menyangkut pemeliharaan dan penulisan hutang piutang.[1]
Ayat 282 ini dimulai dengan seruan Allah swt kepada kaum yang menyatakan beriman, “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menulisnya.”
Perintah ayat ini secara redaksional ditunjukkan kepada orang-orang beriman, tetapi yang dimaksud adalah mereka yang melakukan transaksi hutang-piutang, bahkan yang lebih khusus adalah yang berhutang. Ini agar yang memberi piutang merasa lebih tenang dengan penulisan itu, karena menulisnya adalah perintah atau tuntunan yang sangat dianjurkan, walau kreditor tidak memintanya.
Perintah utang piutang dipahami oleh banyak ulama sebagai anjuran, bukan kewajiban. Demikian praktek para sahabat ketika itu. Memang sungguh sulit perintah diterapkan diterapkan oleh kaum muslimin ketika turunnya ayat ini jika perintah menulis hutang piutang bersifat wajib, karena kepandaian tulis menulis ketika itu sangat langka. Namun demikian ayat ini mengisyaratkan perlunya belajar tulis menulis, karena dalam hidup ini setiap orang mengalami pinjam dan meminjamkan.
Sufyan ats-Tsauri meriwayatkan dari Ibnu Abbas, “Ayat ini diturunkan berkaitan dengan masalah salam (mengutangkan) hingga waktu tertentu. Firman Allah, “hendaklah kamu menuliskannya” merupakan perintah dari-Nya agar dilakukan pencatatan untuk arsip. Perintah disini merupakan perintah yang bersifat membimbing, bukan mewajibkan.[2]
Selanjutnya Allah swt menegaskan: “Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menulisnya dengan adil.” Yakni dengan benar, tidak menyalahi ketentuan Allah dan perundangan yang berlaku dalam masyarakat. Tidak juga merugikan salah satu pihak yang bermuamalah, sebagaimana dipahami dari kataadil dan di antara kamu. Dengan demikian dibutuhkan tiga kriteria bagi penulis, yaitu kemampuan menulis, pengetahuan tentang aturan serta tatacara menulis perjanjian, dan kejujuran.
Ayat ini mendahulukan penyebutan adil daripada penybutan pengetahuan yang diajarkan Allah. Ini karena keadilan, di samping menuntut adanya pengetahauan bagi yang akan berlaku adil, juga karena seseorang yang adil tapi tidak mengetahui, keadilannya akan mendorong dia untuk belajar. Berbeda dengan yang mengetahui tetapi tidak adil. Ketika itu pengetahuannya akan digunakan untuk menutupi ketidakadilannya. Ia akan mencari celah hukum untuk membenarkan penyelewengan dan menghindari saksi.
Selanjutnya kepada para penulis diingatkan, agar janganlah enggan menulisnya sebagai tanda syukur, sebab Allah telah mengajarnya, maka hendaklah ia menulis. Penggalan ayat ini meletakkan tanggung jawab di atas pundak penulis yang mampu, bahkan setiap orang yang memiliki kemampuan untuk melaksanakan sesuatu sesuai dengan kemampuannya.
Setelah menjelaskan tentang hukum penulisan hutang piutang, penulis, kriteria, dan tanggung jawabnya, maka dikemukakan tentang siapa yang mengimlakkan kandungan perjanjian, yakni dengan firmannya: Dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan apa yang disepakati untuk ditulis. Mengapa yang berhutang, bukan yang memberi hutang? Karena dia dalam posisi lemah, jika yang memberi hutang yang mengimlakkan, bisa jadi suatu ketika yang berhutang mengingkarinya. Dengan mengimlakkan sendiri hutangnya, dan didepan penulis, serta yang memberinya juga, maka tidak ada alasan bagi yang berhutang untuk mengingkari isi perjanjian. Sambil mengimlakkan segala sesuatu yang diperlukan untuk kejelasan transaksi, Allah mengingatkan yang berhutang agar hendaklah dia bertakwa kepada Allah Tuhannya. Kemudian ayat selanjutnya adalah menyatakan nasihat, janganlah ia mengurangi sedikitpun dari hutangnya,baik yang berkaitan dengan kadar hutang, waktu, cara pembayaran dan lain-lain, yang dicakup kesepakatan bersama.
Bagaimana kalau yang berhutang, karena suatu dan lain hal tidak mampu mengimlakkan? Lanjutan ayat menjelaskannya, jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya, tidak pandai mengurus harta, karena suatu dan lain sebab,atau lemah keadaannya, seperti sakit, atau sangat tua, atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, karena bisu atau tidak mengetahui bahasa yang digunakan, atau boleh jadi malu, maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur.
Setelah menjelaskan penulisan, maka uraian berikut adalah menyangkut persaksian, baik dalam tulis menulis maupun selainnya.
Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orng lelaki di antara kamu. Dua orang saksi dimaksud adalah saksi-saksi lelaki yang merupakan anggota masyarakat muslim. Atau kalau tidak ada- demikian tim Departemen Agama RI dan banyak ulama menerjemahkan dan memahami lanjutan ayat-ataukalau bukan- menurut hemat penulis yakni kalau bukan dua orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, yakni yang disepakati oleh yang melakukan transaksi.
Yang menjadi pertanyaan adalah, mengapa kesaksian dua orang lelaki, diseimbangkan dengan satu lelaki dan dua perempuan. Yakni seseorang lelaki diseimbangkan dengan satu lelaki dan dua perempuan? Ayat ini menjelaskan bahwa hal tersebut adalah supaya jika salah seorang dari perempuan itu lupa maka seorang lagi, yakni yang menjadi saksi bersamanya mengingatkannya.Mengapa kemungkinan ini disebutkan dalam konteks kesaksian wanita. Apakah karena kemampuan intelektualnya kurang, seperti diduga sementara ulama atau karena emosinya sering tidak terkendali? Hemat penulis tidak ini dan tidak itu.
Persoalan ini harus dilihat pada pandangan dasar Islam tentang tugas utama wanita dan fungsi utama yang dibebankan atasnya.
Al-Quran dan Sunnah mengatur pembagian kerja antara wanita dan pria, suami dan istri. Suami bertugas mencari nafkah dan dituntut untuk memberi perhatian utama dalam hal ini untuk menyediakan kecukupan nafkah untuk anak istrinya. Sedang tugas utama wanita atau istri adalah membina rumah tangga dan memberi perhatian besar bagi pertumbuhan fisik dan perkembangan jiwa anak-anaknya. Namun perlu dicatat, bahwa pembagian kerja itu tidak ketat. Tidak jarang istri para sahabat Nabi ikut bekerja mencari nafkah, karena suaminya tidak mampu mencukupi kebutuhan rumah tangga, dan tidak sedikit pula suami yang melakukan aktivitas di rumah serta mendidik anak-anaknya. Pembagian kerja yang disebut di atas, dan perhatian berbeda yang dituntut terhadap masing-masing jenis kelamin, menjadikan kemampuan dan ingatan mereka menyangkut objek perhatiannya berbeda. Ingatan wanita dalam soal rumah tangga, pastilah lebih kuat dari pria yang perhatiannya lebih banyak atau seharusnya lebih banyak banyak tertuju kepada kerja, perniagaan, termasuk hutang piutang. Ingatannya pasti juga lebih kuat dari wanita yang perhatian utamanya tidak tertuju atau tidak diharapkan tertuju kesana. Atas dasar besar kecilnya perhatian itulah tuntunan di atas ditetapkan. Dan, karena al-Quran menghendaki wanita memberi perhatian lebih banyak kepada rumah tangga atau atas dasar kenyataan pada masa turunnya ayat ini, wanita-wanita tidak memberi perhatian yang cukup terhadap hutang-piutang, baik suami tidak mengizinkan keterlibatan mereka maupun oleh sebab lain, maka kemungkinan mereka lupa lebih besar dari kemungkinannya oleh pria. Karena itu demi menguatkan persaksian, dua orang wanita diseimbangkan dengan seorang pria, supaya jika seseorang lupa maka seseorang lakgi mengingatkannya. Sekali lagi hemat penulis ayat ini tidak berbicara tentang kemampuan intelektual wanita, tidak juga berarti bahwa kemampuannya menghafal lebih rendah dari kemampuan pria.
Sebagaimana Allah berpesan kepada para penulis, kepada para saksipun Allah berpesan, “janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keteranganapabila mereka dipanggil,” karena keengganannya dapat mengakibatkan hilangnya hak atau terjadi korban.
Yang dinamai saksi adalah orang yang berpotensi menjadi saksi, walaupun ketika itu dia belum melaksanakan kesaksian, dan dapat juga secara aktual telah menjadi saksi. Jika anda melihat satu peristiwa, katakanlah tabrakan, maka ketika itu anda telah berpotensi memikul tugas kesaksian, sejak saat itu anda telah dapat dinamai saksi walaupun belum lagi melakukan kesaksian itu di pengadilan. Ayat ini dapat berarti, janganlah orang-orang yang berpotensi menjadi saksi enggan menjadi saksi apabila mereka diminta. Memang, banyak orang, sejak dahulu apalagi sekarang, yang enggan menjadi saksi, akibat berbagai faktor, paling sedikit karena kenyamanan dan kemaslahatan pribadinya terganggu. Karena itu, mereka perlu dihimbau. Perintah ini adalah anjuran, apalagi jika ada orang lain yang memberi keterangan, dan wajib hukumnya bila kesaksiannya mutlak untuk menegakkan keadilan.
Setelah mengingatkakn para saksi, ayat ini kembali berbicara tentang penulisan hutang piutang, tapu dengan memberi penekanan pada hutang piutang yang jumlahnya kecil, padahal yang kecilpun dapat menyebabkan permusuhan, bahkan pembunuhan. Memang menulis yang kecil-kecil, apalagi seringkali dapat membosankan. Karena itu, ayat ini mengingatkan, janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai yakni termasuk batas waktu membayarnya.
Yang demikian itu, yakni penulisan hutang-piutang dan persaksian yang dibicarakan itu, lebih adil disisi Allah, yakni dalam pengetahuan-Nya dan dalam kenyataan hidup, dan lebih dapat menguatkan persaksian, yakni lebih membantu penegakan persaksian, serta lebih dekat kepada tidak menimbulkan keraguan di antara kamu.
Petunjuk-petunjuk di atas adalah jika muammalah dilakukan dalam bentuk hutang-piutang. Tetapi jika ia merupakan perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tak ada dosa bagi kamu (jika) kamu tidak menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; perintah di sini oleh mayoritas ulama dipahami sebagai petunjuk umum, bukan perintah wajib.
Saksi dan penulis yang diminta atau diwajibkan untuk menulis dan menyaksikan, tentu saja maempunyai aneka kepentingan pribadi atau keluarga; kehadirannya sebagai saksi, dan atau tugasnya menulis, dapat mengganggu kepentingannya. Di sisi lain, mereka yang melakukan transaksi jual beli atau hutang piutang itu, dapat juga mengalami kesulitan dari para penulis dan saksi jika karena menyelewengkan kesaksiasn atau menyalahi ketentuan penulisan. Karena itu Allah berpesan dengan menggunakan satu redaksi yang dapat dipahami sebagai tertuju kepada penulis saksi, kepada penjual dan pembeli, serta yang berhutang dan pemberi hutang. Wala yudharra katibun wa la syahid, dapat berarti janganlah penulis dan saksi memudharatkan yang bermuamalah, dan dapat juga berartijanganlah yang bermuamalah memudharatkan para saksi dan penulis.
Salah satu bentuk dari mudharat yang dapat dialami oleh saksi dan penulis adalah hilangnya kesempatan memperoleh rejeki, karena itu tidak ada salahnya memberikan mereka ganti transport dan biaya administrasi sebagai imbalan jeri payah dan penggunakan waktu mereka. Di sisi lain, para penulis dan saksi hendaknya tidak juga merugikan yang bermuamalah dengan memperlambat kesaksian, apalagi menyembunyikannya, atau melakukan penulisan yang tidak sesuai dengan kesepakatan mereka. Jika kamu, wahai para saksi dan penulis serta yang melakukan muammalah, melakukan yang demikian, maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu.
Kefasikan terambil dari akar kata yang bermakana terkelupasnya kulit sesuatu. Kefasikan adalah keluarnya seseorang dari ketaatan kepada Allah swt atau dengan kata lain kedurhakaan. Ini berarti, siapa pun yang melakukan suatu aktivitas yang mengakibatkan kesulitan bagi orang lain, maka dia dinilai durhaka kepada Allah serta keluar dari ketaatan kepada-Nya.
Ayat ini diakhiri dengan firman-Nya: Dan bertaqwalah kepada Allah mengajar kamu; dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. Menutup ayat ini dengan perintah bertaqwa yang disusul dengan mengingatkan pengajaran ilahi, merupakan penutup yang amat tepat, karena seringkali yang melakukan transaki perdagangan menggunakan pengetahuan yang dimilikinya dengan berbagai cara terselubung untuk mencari keuntungan sebanyak mungkin. Dari sini peringatan tentang perlunya taqwa serta mengingat pengajaran Ilahi menjadi sangat tepat.
Akhir kata, Ayat tersebut menganjurkan kepada manusia untuk mencatat apabila melakukan suatu hutang piutang. Hal tersebut biar tidak terjadi suatu perselisihan dikemudian hari apabila tersjadi suatu permasalahan yang timbul selama berjalannya transaksi hutang sampai kepada suatu pelunasan. Apabila terjadi suatu masalah, tinggal dibuka saja catatan-catatan perjanjian yang telah disepakati oleh kedua belah pihak.
Akhir kata, Ayat tersebut menganjurkan kepada manusia untuk mencatat apabila melakukan suatu hutang piutang. Hal tersebut biar tidak terjadi suatu perselisihan dikemudian hari apabila tersjadi suatu permasalahan yang timbul selama berjalannya transaksi hutang sampai kepada suatu pelunasan. Apabila terjadi suatu masalah, tinggal dibuka saja catatan-catatan perjanjian yang telah disepakati oleh kedua belah pihak.
Hampir tiap-tiap transaksi yang ada di dunia ini mengenal yang namanya hutang piutang, baik itu pada transaksi kelembagaan maupun dalam kehidupan sehari-hari. Misalkan dalam suatu kelembagaan terdapat macam-macam transaksi yang mana semuanya mengenal istilah hutang piutang didalamnya; perbankan, koperasi, perusahaan, pemerintahan, dan lain-lain. Begitu pula aktivitas hutang piutang terjadi di dalam kehidupan sehari-hari; antar saudara, antar tetangga, belanja di took, dan lain-lain. Seseorang mengenal hutang dikarenakan kebutuhan yang lebih banyak daripada suatu pendapatan yang didapatnya, sedangkan setiap orang dituntut memenuhi kehidupannya mau tidak mau harus terpenuhi.
Dengan hadirnya transaksi hutang piutang, terjadi banyak orang yang memanfaatkan hal tersebut untuk memeras pihak-pihak yang lagi membutuhkan keuangan. Padahal pada hakikatnya suatu transaksi hutang piutang adalah taawun (tolong menolong). Akan tetapi akad tolong menolong tersebut dipelintir menjadi suatu tambahan didalam pelunasan hutang, sampai akhirnya terjadi suatu tambahan tersebut yang mana dinamakan riba. Hal tersebut dilakukan oleh berbagai lapisan masyarakat, baik kelembagaan maupun perorangan.
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar